[cerpen] Sihir Edelweis

Oleh: Sungging Raga (Tribun Jabar, 16 Desember 2012)

Aku mencintai perempuan itu di ketinggian 2770 meter, di puncak menara Penanjakan Bromo, ketika suhu udara lebih tajam dari jarum-jarum jam. Ya, serbuk-serbuk cuaca memang terlampau dingin dan nyaris tak masuk akal, apalagi arlojiku yang berembun menunjukkan bahwa saat itu masih pukul 04.04, semua orang datang ke menara Penanjakan dengan jaket yang berlapis-lapis, mantel tebal, kaus tangan, lengkap dengan topi yang menutup sampai ke telinga. Tak hanya orang Indonesia, di situ juga ada banyak turis dari berbagai negara, yang telah siap dengan kameranya masing-masing.

“Di menara ini, kita bisa melihat matahari terbit.” Kata perempuan itu. Ia juga mengenakan mantel tebal berwarna gelap. semua memang serba gelap sehingga belum butuh penjelasan yang lebih lengkap.

Ketika itu, di cakrawala baru mulai terlihat garis merah, membentang di antara Semeru dan Bromo, dua gunung eksotis di Jawa Timur. Semua pengunjung dengan sabar menunggu adegan terbitnya matahari. Kupikir ini konyol sekali, baru kali ini aku menunggu matahari muncul, padahal di hari-hari biasanya, aku tak peduli dengan proses kehadiran matahari, tiba-tiba segalanya terang begitu saja dan aku terlambat kerja.

“Matahari terbit cepat sekali, dan kau akan takjub melihatnya.” Kata perempuan itu lagi.

Lalu kami terdiam sejenak. Aku melihatnya sibuk memotret cakrawala dengan kamera digital, sementara aku hanya termangu menahan dingin. Sesaat seorang lelaki tua melintas di hadapan kami.

“Mbak, Edelweis, Mbak. Sepuluhribu saja.”

“Edelweis? Aku sendiri adalah Edelweis.” Jawab perempuan di sebelahku ini. Dan sang penjual pun berlalu dengan heran.

Continue reading